SOAL
1.
Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan poikilotermik sangat berguna aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan
serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh
ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya
dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme
dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter
apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam
ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5.
Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring
kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik
pemanfaatannya!
6.
Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas
konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang
relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
JAWABAN
1. Suhu adalah parameter yang
menggambarkan derajat panas suatu benda. Semakin tinggi panas suatu benda, maka
semakin tinggi pula suhunya. Begitu pula sebaliknnya, panas yang dipancarkan
atau dirambatkan oleh suatu benda merupakan bentuk energi yang dibebaskan oleh
benda melalui proses transformasi energi. Dengan demikian, secara tidak
langsung suhu dapat dipakai sebagai indikator tentang besarnya energi yang
dibebaskan oleh benda.
Dalam kaitannya dengan organisme,
maka prinsip dasar yang mengakibatkan suhu dapat mengatur pertumbuhan dan
penyebaran organisme adalah terletak pada pengaruh fisik suhu terhadap tubuh
organisme. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim dan
protein lain, dapat menguapkan cairan tubuh, dapat merusak vitamin, dapat
merusak sel, jaringan dan organ, dapat merusak permeabilitas membran, dan merusak
hormon. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah dapat membekukan protoplasma,
dapat menghambat kerja enzim, menghambat kerja hormon, dan menghambat
metabolisme.Suhu sangat berpengaruh terhadap ekosistem karena
suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Suhu memengaruhi
reaksi biokimiawi yang terjadi di dalam makhluk hidup. Setiap jenis makhluk
hidup memerlukan suhu optimum untuk kehidupannya sehingga ada jenis-jenis
organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu. Pada hewan
poikiloterm, suhu tubuhnya dapat berubah-ubah sesuai dengan suhu lingkungannya.
Sedangkan hewan homeoterm suhu tubuhnya relatif tetap meskipun suhu lingkungan
berubah-ubah.
Serangga termasuk hewan poikiloterm atau hewan
berdarah dingin yang bergantung pada suhu lingkungannya. Untuk
pertumbuhannya, serangga memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor
suhu lingkungan. Serangga tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu
lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang cukup
lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, serangga memerlukan suhu lingkungan di
atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk
tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya.
Contoh kasus meningkatnya ulat bulu di Probolinggo telah dikaji
melalui pengujian di laboratorium dan observasi di lapangan. Terdapat empat
spesies ulat bulu yang menyerang tanaman mangga, yaitu Arctornis submarginata, Lymantria
marginalis, Lymantria atemeles, dan Dasychira inclusa. Penyebab utama menurunnya
keanekaragaman hayati pada agroekosistem tanaman mangga sehingga menimbulkan ledakan populasi adalah musim
hujan yang panjang, debu vulkanik, penanaman mangga yang menuju satu jenis,
program hutan produksi, dan penggunaan input agrokimia. Kekacauan populasi pascamigrasi Serangga dari pertanaman teh dan kemampuan adaptasinya yang tinggi pada
tanaman mangga menyebabkan terjadinya peningkatan populasi ulat bulu pada
tanaman mangga.
2. Konsep kelimpahan merupakan dimana dalam
satu lingkungan terdapat beberapa populasi yang hidup bersama dan dapat
diidentifikasi keberadaannya dalam suatu waktu dan ruang tertentu . Tinggi
rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar
kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu
populasi tidak dapat ditentukan batansnya secara pasti, sehingga kelimpahan
(ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Hal demikian terutama
berlaku bagi populasi alami hewan-hewan bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal
atau tempat hidupnya sulit dijangkau. Maka, digunakan pengukuran tingkat
kelimpahan populasi per satuan ruang dari yang ditempati yaitu kerapatannya
(kepadatannya).
Kelimpahan
populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek
intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya
kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan
jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang
lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi
(=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah,
yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat
tertentu. Disperse
merupakan suatu penyebaran populasi organisme dari tempat awal yang ditempati
kemudian berpindah menuju tempat populasi baru untuk kelangsungan hidupnya.
Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi, atau kinerja
potensial (kapasitas fisik) suatu populasi. Dalam biologi, fekunditas adalah
laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan
jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi,
fekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun
populasi.
Spesies
yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies
langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah
pun dimasukkan dalam kategori tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penyebab
langkanya suatu spesies sangat banyak. Namun, faktor-faktor tersebut mengkin
saja tidak sama antara spesies di suatu tempat tertentu dengan spesies di
tempat lain.
Kelangkaan
suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab berikut:
Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut. Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies tersebut. Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut. Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies tersebut. Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Tempat-tempat
yang secara potensial dapat dihuni, menjadi tidak dapat ditempati akibat
kehadiran spesies lain yang merupakan pesaing, parasit atau predatornya.
Dalam area yang dapat dihuni, ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak menjadi berkurang. Variasi genetic spesies relatif sempit sehingga kisaran tempat yang dapat dihuninya pun terbatas. Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat yang dapat diuninya pun terbatas. Kehadiran populasi-populasi spesies lain yang merupakan pesaing, predator dan parasit menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hingga rendah sekali, jauh di bawah tingkat kelimpahan yang sebenarnya masih dimungkinkan oleh ketersedian sumber dayanya (http://nenkiuedubio.blogspot.com/2011/05/populasi-hewan.html).
Dalam area yang dapat dihuni, ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak menjadi berkurang. Variasi genetic spesies relatif sempit sehingga kisaran tempat yang dapat dihuninya pun terbatas. Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat yang dapat diuninya pun terbatas. Kehadiran populasi-populasi spesies lain yang merupakan pesaing, predator dan parasit menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hingga rendah sekali, jauh di bawah tingkat kelimpahan yang sebenarnya masih dimungkinkan oleh ketersedian sumber dayanya (http://nenkiuedubio.blogspot.com/2011/05/populasi-hewan.html).
3.
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap
individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain
jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain.
Populasi adalah sebagai kumpulan
individu organisme disuatu tempat yang memiliki sifat serupa, mempunyai asal
usul yang sama, dan tidak ada yang menghalangi individu anggotanya untuk
berhubungan satu sama lain dan mengembangkan keturunannya secara bebas karena
individu itu merupakan kumpulan heteroseksual (Wirakusumah 2003). Semua makhluk
hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan
selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik
individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain.
Parasitisme, yaitu hubungan
antarorganisme yang berbeda spesies, bila salah satu organisme hidupnya
tergantung pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/ inangnya
sehingga bersifat merugikan inangnya. Contoh Plasmodium dengan manusia, Taenia
saginata dengan sapi, dan benalu dengan pohon inang. Istilah parasitoid
sering digunakan untuk parasit pada serangga dikarenakan cukup berbeda dari
parasit yang sebenarnya untuk memberikan kekhususan. Berikut adalah ciri khusus
parasitoid :Selama perkembangan suatu individu parasitoid merusak individu
inang, inang biasanya pada tingkat taksonomi class yang sama, parasitoid pada
umumnya ukurannya hampir sama dengan inangnya, bersifat parasit pada saat larva
saja; dewasanya hidup bebas, tidak memperlihatkan heterocism (hidup dalam satu
spesies inang dan spesies lainnya), aksinya menyerupai predator yang lebih dari
parasit sesungguhnya dalam dinamika populasi hama
Pengendalian hama dengan taktik atau
teknologi berbasis biologi mencakup lima tipe, yaitu: pengendalian hayati,
pestisida mikroba, senyawa-senyawa kimia yang memodifikasi perilaku hama,
manipulasi genetika populasi hama, dan imunisasi tanaman. Pengendalian
hayati adalah penggunaan musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) untuk
mengendalikan populasi hama. Pendekatan
yang digunakan di dalam pengendalian hayati adalah: pengendalian hayati klasik,
pengendalian hayati augmentasi, dan
konservasi musuh alami.
Parasitoid
dianggap lebih baik daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati. Analisis
terhadap introduksi musuh alami ke Amerika serikat menunjukkan bahwa
keberhasilan penggunaan parasitoid dalam pengendalian hayati mencapai dua kali
lebih besar daripada pemangsa. Sebagian
besar parasitoid ditemukan di dalam dua kelompok utama bangsa serangga, yaitu
Hymenoptera (lebah, tawon, semut, dan lalat gergaji) dan bangsa Diptera (lalat
beserta kerabatnya). Meskipun tidak banyak, parasitoid juga ditemukan pada
bangsa Coleoptera, Lepidoptera, dan Neuroptera. Sebagian besar serangga
parasitoid yang bermanfaat adalah dari jenis-jenis tawon atau lalat. ( http://staff.blog.ui.ac.id/devita/books/
)
Catatan sejarah pengendalian hayati
diawali di Cina sebelum tahun 900. Para petani Cina telah memanfaatkan semut Oecophylla
smaradigna untuk mengendalikan hama ulat dan kumbang yang menyerang tanaman
jeruk. Selain itu, keberhasilan kumbang Rodolia cardinalis mengendalikan
Icerya purchasi dan ngengat Cactoblastis cactorum mengendalikan
kaktus Opuntia telah menjadi legenda di dalam pengendalian hayati klasik
hama serangga dan gulma.
4.
Ekologi
adalah ilmu
yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dan yang lainnya.
Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi,
makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Ekologi
diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan antara makhluk dengan lingkungannya.
Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari
interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan antara
organisme dengan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Lingkungan tersebut artinya segala
sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup yaitu lingkungan biotik maupun
abiotik.
Hal-hal
yang dihadapi dalam ekologi sebagai suatu ilmu adalah organisme, kehadirannya
dan tingkat kelimpahannya di suatu tempat serta faktor-faktor dan proses-proses
penyebabnya. Dengan demikian, definisi-definisi tersebut jika dihubungkan
dengan ekologi hewan dapat disimpulkan bahwa Ekologi Hewan adalah suatu cabang
biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara hewan dengan
lingkungan biotic dan abiotik secara langsung maupun tidak langsung meliputi
sebaran (distribusi) maupun tingkat kelimpahan hewan tersebut
sasaran
utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi
kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang
ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor
penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan
organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan
keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan informasi yang dapat
dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan dan penerapannya bagi
kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan kelimpahannya,
makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain.
Setelah
mempelajari dan memahami hal-hal tersebut, maka pengetahuan ini dapat kita
manfaatkan untuk misalnya, memprediksi kelimpahannya dan menganalisis
keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, menjaga kelestariannya serta kegiatan
lainnya yang menyangkut keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita
mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi
dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua
dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat dan teliti, maka
pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga kelestariannya di
alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat alaminya,memprediksi
kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya dalam ekosistem,
membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan mengoptimalkan kondisi
lingkungannya menyerupai habitat aslinya (http://teksbiologi.blogspot.com/2013/02/definisi-dan-ruang-lingkup-ekologi-hewan.html).
5.
Perilaku hewan dalam mempertahankan diri dari perubahan lingkungan yang ekstrim
dapat berupa perilaku abnormal, misalnya bersikap histeris atau melarikan diri
dari habitatnya. Adapun perilaku antara spesies satu berbeda dengan spesies
lainnya, karena setiap spesies mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda.
Perilaku khas hewan ini lah yang bisa dijadikan sebagai bioindikator
lingkungan. Bioindikator
adalah suatu populasi tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme (yaitu organisme
yang sangat kecil) yang dapat memberikan perubahan karena pengaruh kondisi
lingkungan. Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme
sebagai bioindikator (Pearson, 1994) antara lain: Secara taksonomi telah dikenal luas,
dapat diidentifikasikan dengan jelas dan bersifat stabil, sejarah alamiahnya
diketahui, populasinya dapat disurvei,
ditemukan, diamati, dan ditandai atau diberi perlakuan dengan mudah, taksa yang
lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat, taksa yang
lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat, pola
keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat
atau tidak, memiliki potensi ekonomi yang penting.
Hewan
memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana. Sebelum
terjadinya suatu bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal.
Perilaku hewan yang abnormal sering digunakan oleh ilmuan untuk memprediksi
bencana alam. Selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai
bioindikator pencemaran lingkungan. Lingkungan yang tercemar mengakibatkan
gangguan pada makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya. Perubahan yang
terjadi pada makhuk hidup dapat menunjukkan terjadinya pencemaran. Bioindikator
dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara,
air, dan tanah.
Fauna makrobentik/bentos telah
digunakan secara luas sebagai bioindikator pencemaran perairan, karena peran
pentingnya dalam sistem rantai makanan. Selain itu hewan tersebut juga sensitif
terhadap perubahan lingkungan dan karakteristik habitat. Komunitas fauna
makrobentik sering digunakan dalam mendeteksi gangguan ekologi akibat
kontaminasi logam berat di perairan. Biasanya respon ekologi yang ditimbulkan
oleh komunitas makrobentik avertebrata yaitu menurunnya jumlah kekayaan jenis
dan kelimpahan, serta bergesernya komposisi taksa dari yang sensitif menjadi
taksa yang toleran.
Salah satu komunitas fauna
makrobentik yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan yaitu larva
Trichoptera. Larva Trichoptera merupakan salah satu penyusun komponen terbesar
dari komunitas bentik makroavertebrata pada ekosistem akuatik lotik. Dalam
hubungannya dengan faktor kimia di perairan, hewan tersebut dapat dijumpai dari
perairan belum tercemar hingga perairan tercemar berat. Sebagai contoh Hydropsyche
dan Cheumatopsyche relatif sensitif pada air yang sudah terpolusi
sehingga keberadaannya menjadi berkurang. Keberadaan hewan tersebut akan
meningkat kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya mengalami peningkatan
(http://lovingabadboy.blogspot.com/)
6.
Dimensi relung adalah toleransi terhadap kondisi-kondisi yang bervariasi
(kelembapan, pH,
temperatur, kecepatan angin, aliran air, dan sebagainya) dan kebutuhannya akan
sumber daya alam yang bervariasi. Di alam, dimensi relung suatu spesies
bersifat multidimensi. Relung dua dimensi contohnya adalah hubungan temperatur
dan salinitas
sebagai bagian dari relung kerang di pasir. Untuk relung tiga dimensi,
contohnya adalah hubungan temperatur, pH, dan ketersediaan makanan sebagai
bagian dari relung suatu organism. Relung
(niche) dalam ekologi
merujuk pada posisi unik yang ditempati oleh suatu spesies
tertentu berdasarkan rentang fisik yang ditempati dan peranan yang dilakukan di
dalam komunitasnya.
Konsep ini menjelaskan suatu cara yang tepat dari suatu organisme untuk
menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Habitat
adalah pemaparan tempat suatu organisme
dapat ditemukan, sedangkan relung adalah pertelaan lengkap bagaimana suatu
organisme berhubungan dengan lingkungan fisik dan biologisnya. Ekologi dari
suatu individu mencakup variabel biotik (makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan,
manusia, baik yg mikro maupun yg makro) dan abiotik (benda tidak hidup). Relung
menentukan bagaimana spesies memberi tanggapan terhadap ketersediaan sumberdaya
hidup dan keberadaan pesaing dan pemangsa dalam suatu ekosistem.
Manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas
konservasi sangat penting dimana Relung (niche)
menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem.
Relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem
tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya (habitat)
dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai profesi
organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi organisme dalam
habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan
tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu
habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari
organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif
persaingannya (http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/09/habitat-dan-relung.html).
Relung
atau niche merupakan tempat makhluk hidup berfungsi di habitatnya, bagaimana
cara hidup, atau peran ekologi makhluk hidup tersebut. Jadi pada dasarnya
makhluk hidup secara alamiah akan memilih habitat dan relung ekologinya sesuai
dengan kebutuhannya, dalam arti bertempat tinggal, tumbuh berkembang dan
melaksanakan fungsi ekologi pada habitat yang sesuai dengan kondisi lingkungan
(misalnya iklim), nutrien, dan interaksi antara makhluk hidup yang ada.
Dalam
ekologi, seluruh peranan dan fungsi makhluk hidup dalam komunitasnya dinamakan
relung atau niche ekologi. Jadi relung ekologi merupakan semua faktor atau
unsur yang terdapat dalam habitatnya yang mencakup jenis-jenis organisme yang
berperan, lingkungan, dan tempat tinggal yang sesuai dan spesialisasi populasi
organisme yang terdapat dalam komunitas. Relung ekologi bukan konsep yang
sederhana, melainkan konsep yang kompleks yang berkaitan dengan konsep populasi
dan komunitas. Relung ekologi merupakan peranan total dari semua makhluk hidup
dalam komunitasnya (http://biologi-hardiansyah.blogspot.com/p/niche-relung-ekologi-strategi-tumbuhan.html).
Burung
Cendrawasih merupakan sekumpulan spesies burung yang dikelompokkan dalam famili
Paradisaeidae. Burung yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua
Nugini, dan Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan dan sekitar 43
spesies. 30-an spesies diantaranya bisa ditemukan di Indonesia.
Burung-burung
Cendrawasih mempunyai ciri khas bulunya yang indah yang dimiliki oleh burung
jantan. Umumnya bulunya berwarna cerah dengan kombinasi beberapa warna seperti
hitam, cokelat, kemerahan, oranye, kuning, putih, biru, hijau dan ungu.
Ukuran
burung Cenderawasih beraneka ragam. Mulai dari yang berukuran 15 cm dengan
berat 50 gram seperti pada jenis Cendrawasih Raja (Cicinnurus regius), hingga
yang berukuran sebesar 110 cm Cendrawasih Paruh Sabit Hitam (Epimachus
albertisi) atau yang beratnya mencapai 430 gram seperti pada Cendrawasih
Manukod Jambul-bergulung (Manucodia comrii).
Keindahan
bulu Cendrawasih jantan digunakan untuk menarik perhatian lawan jenis. Untuk
‘merayu’ betina agar bersedia diajak kawin, burung jantan akan memamerkan
bulunya dengan melakukan tarian-tarian indah. Sambil bernyanyi di atas dahan,
pejantan bergoyang dengan berbagai gerakan ke berbagai arah. Bahkan terkadang
hingga bergantung terbalik bertumpu pada dahan. Namun, tiap spesies Cendrawasih
tentunya punya tipe tarian tersendiri.
Burung
Cendrawasih mempunyai habitat hutan
lebat yang umumnya di daerah dataran rendah. Burung dari surga ini dapat
dijumpai di beberapa pulau di Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua.
Selain itu juga dapat ditemukan di Papua Nugini dan Australian Timur (http://alamendah.org/2011/02/14/burung-cendrawasih-burung-surga-bird-of-paradise/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar